Minggu, 23 Mei 2010

Alquran dan Konsep Pembentukan Karakter

KARAKTER anak-anak di masa depan salah satunya dipengaruhi oleh kata-kata yang diucapkan orangtuanya. Sebagaimana yang tersurat pada Alquran Surah Al Nisa (9).

Dan hendaklah takut orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka generasi yang lemah, yang mereka khawatir atasnya, maka hendaklah mereka takut kepada Allah; hendaklah mereka berkata-kata yang mulia (qaulan sadida).

Ayat itu menegaskan, bahwa ada kata-kata yang kita ucapkan kepada atau menyangkut anak-anak akan berpengaruh pada mereka di masa depan.

Kenapa ayat ini ditujukan kepada para orangtua? Karena orangtua adalah pendidik pertama bagi anak-anaknya. Setiap kata yang terucap dari mulut orangtua menyangkut anaknya punya efek ganda.

Secara spiritual kata-katanya adalah doa (meski formulasinya tidak berbentuk doa sekali pun), yang pasti dikabulkan oleh Allah. Secara natural, kata-kata orangtua baik materi atau cara penyampaiannya akan mempengaruhi kejiwaan anak, sehingga akan berperan besar dalam pembentukan karakternya di masa depan.

Merefleksi QS al-Nisa 9 tersebut, setidaknya ada tujuh tahapan atau momentum kata-kata orangtua yang baik secara spiritual ataupun natural (alamiah), akan berpengaruh bagi profil karakter anak. Jika kata-kata itu mulia, maka mulia pulalah karakternya ketika dewasa. Sebaliknya, jika kata-kata itu hina-dina, maka buruk pula karakternya saat dewasa.

Pertama, kata-kata yang mulia di atas ranjang. Terdengar aneh, barangkali. Tetapi sesungguhnya tidak. Pembentukan pribadi yang berkarakter tidak hanya ketika anak kita sudah terlahir di dunia, bahkan sebelum ia terlahir, ketika ia masih berwujud sperma dan ovum.

Nabi mengajarkan, sebelum bersetubuh hendaknya suami istri berdoa: Ya Allah jauhkan kami dari setan, dan jauhkan setan atas apa (baca: keturunan) yang Engkau rizkikan kepada kami. Dalam persetubuhan sesungguhnya ada dimensi spiritualnya.

Saat pertemuan sperma dan sel telur adalah momentum cetak biru, apakah-jika ditakdirkan-akan menjadi manusia saleh, baik, atau sebaliknya.

Kedua, kata-kata yang mulia saat kehamilan. Setelah sel sperma dan ovum bertemu, terjadilah kehamilan, dan tumbuhlah janin calon manusia dalam perut sang ibu. Penting diketahui, bahwa pada saat kehamilan (setidaknya mulai minggu ke 18), janin sudah bisa mendengar. Ini berarti, sang janin sudah bisa berkomunikasi, persisnya dengan kedua orangtuanya, dan terutama dengan ibu. Apa yang dituturkan sang ibu kepada janin, apalagi apa yang dirasakan oleh batin bundanya, bisa ditangkap olehnya.

Ketiga, kata-kata yang mulia sesaat setelah kelahiran. Dengan memperdengarkan ayat-ayat Alquran ketika masih dalam rahim, itu dimaksudkan bahwa ketika di dalam gua garba pun janin sudah mengenal Allah. Lantas, apa kata-kata yang mulia sesaat setelah kelahiran? Tidak lain, sebagaimana diajarkan Nabi Saw, adalah azan dan ikamat. Itu menandakan sebuah maksud, bahwa ketika lahir di dunia, yang kali pertama didengar oleh si bayi adalah kalimah thayyibah, yakni: kebesaran Allah, kesaksian tauhid, pengakuan akan nabinya (Muhammad), perintah salat, dan panggilan surga.

Itu semua merupakan ‘modal awal’ bagi pembentukan karakternya, karena kalimat-kalimat tersebut secara spiritual akan bisa menopangnya untuk meraih kesadaran tentang konsep diri, yakni kesadaran tentang siapa dirinya, apa (kewajiban) yang akan dilakukan di dunia ini, serta ke mana hendak menuju (setelah mati nanti).

Keempat, kata-kata yang mulia dalam pemberian nama. Menurut Nabi Saw, nama adalah doa. Nama yang baik berarti mengandung doa yang baik, dan sebaliknya. Maksudnya, bahwa ketika kita memberi nama yang baik pada anak kita, sesungguhnya secara tidak langsung kita berdoa kepada Allah, kiranya anak kita selalu dilimpahi kebaikan, bernasib baik, berperangai dan berkarakter baik dan lainnya.

Kelima, kata-kata yang mulia masa-masa awal pertumbuhan ( usia batita hingga balita). Pada masa-masa itu, anak memiliki kepekaan bahasa yang sangat tinggi. Ia cepat menangkap dan mengingat kata-kata yang didengarnya, baik dari orangtuanya, maupun lingkungan sekitarnya.

Keenam, kata-kata yang mulia di usia kanak-kanak, yakni usia sekolah dasar, antara enam-12 tahun. Pada usia tersebut tahap perkembangan anak dicirikan terutama oleh kemampuannya untuk berpikir yang konkret. Saat tepat memberikan wejangan nilai, baik yang dilandaskan pada moralitas, agama, adat istiadat, filosofi dan lainnya sebagai motivasi dan inspirasi atau patokan anak dalam berpikir, bersikap, dan berperilaku.

Ketujuh, kata-kata yang mulia di usia akil balig. Inilah tahapan terakhir dari proyek pembentukan karakter melalui kata-kata yang mulia. Usia akil balig adalah usia remaja, usia menjelang dewasa.

Menghadapi anak dengan tahapan perkembangan seperti itu, kita tidak bisa lagi main perintah dan larangan yang bersifat monolog sebagaimana pada tahapan keenam. Sebab, mereka bisa jadi sangat kritis, tidak lagi dogmatis, keingintahuannya besar sehingga tidak jarang mereka sering protes, komplain, dan banyak tanya. Mereka cenderung tidak mau menerima kebenaran sebagaimana adanya.

Orangtua atau guru seyogyanya memosisikan mereka sebagai mitra, teman, sahabat, dan komunikasi harus bersifat intersubjektif, dua arah, dialogis.

Dengan cara itu, anak akan terlatih untuk berpikir dan bertindak sesuai dengan keinginannya, minat dan bakatnya, bukan lagi semata-mata bergantung pada pikiran dan tindakan orang lain. Anak akan segera memasuki kedewasaan, dan dalam pikirannya sudah mengidealkan untuk menjadi ‘manusia yang sesungguhnya’, yang mempunyai sikap dan tindakan yang mandiri dan bertanggung jawab.


http://www.banjarmasinpost.co.id/read/artikel/43779/alquran_dan_konsep_pembentukan_karakter

Tidak ada komentar:

Posting Komentar